Check this out guys~
Sebagai
tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara tidak seperti Ivan Illich atau
Rabrindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah sebagai siksaan yang
harus segera dihindari. Ki Hajar berpandangan bahwa melalui pendidikan
akan terbentuk kader yang berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka
serta percaya akan kemampuan sendiri. Arah pendidikannya bernafaskan
kebangsaan dan berlanggam kebudayaan.
Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niat deschooling
tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya
pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti.
“…bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban
menghadiri sekolah”, kata Illich. Demikian pula halnya dengan
Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah
penjara. Yang kemudian ia sebut sebagai “siksaan yang tertahankan”.
Ada
benarnya ketika setiap pendidikan harus mampu mengarah dan mengubah
status quo. Dan ini tidak berarti benar ketika menganggap sekolah tidak
penting. Anak-anak dengan senang hati, umumnya masih berangkat ke sana.
Kita, dan mereka, tahu; bukan mata pelajaran serta ruang kelas itu yang
membikin mereka betah. Melainkan teman dan pertemuan. Bisa saja, Illich
dan Tagore keliru. Sekolah juga keliru bila ia tidak tahu diri bahwa
peranannya tidak seperti yang diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus masa depan.
Namun,
banyak kalangan sering menyejajarkan Ki Hajar Dewantara dengan
Rabindranath Tagore, seorang pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas
dunia yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional
India, karena mereka bersahabat dan memang memiliki kesamaan visi dan
misi dalam perjuangannya memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan.
Tagore dan Ki
Hajar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas
budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar
kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas keganasan
tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan Tagore itu
dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya dengan
ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hajar. Tindakan
ini dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari
segala lapisan. Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok yang
sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri. Dipilihnya
bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas
dari “strategi” untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun
logika berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan
yang memadai maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan
untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi.
Di
barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di sini,
Ki Hajar Dewantara menjadi pahlawan pendidikan nasional karena
pendidikan sistem among yang ia kembangkan di taman siswa. Ungkapannya
sangat terkenal; “tut wuri handayani”, “ing madya mangun karsa”, dan
“ing ngarsa sung tulada”. Istilah inipun tak hanya populer di kalangan pendidikan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lain.
Siapakah sebenarnya tokoh pelopor pendidikan bangsa ini?
Siapa
sih, yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang gigih,
politisi handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah
diakui oleh sejarah. Tapi sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah
yang demokratis, sosoknya yang sederhana, penggemar barang bekas, belum
banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan nama
Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.
Tokoh
peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis,
tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton
Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS (sekolah
dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA (sekolah
kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai.
Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat
tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi
sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi
Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di seksi propaganda.
Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada
waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan
bernegara.
Setelah
itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang
bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama
dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini
berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintahan kolonial
Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara
jajahan. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh
penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial
Belanda !
Keras tapi Tidak Kasar. Inilah ciri khas kepribadian Ki Hajar yang diakui rekan-rekan sejawatnya. Kras maar nooit grof, keras namun tidak pernah kasar. Kesetiaan pada sikapnya ini terlihat jelas pada setiap kiprahnya.
Ketika
partainya, Partai Hindia atau Indische Partij (IP) dibredel pemerintah
Belanda (1912), dia tidak putus asa. Kritik pedas kepada penjajah juga
dilancarkan lewat artikelnya dalam de Express November 1913, berjudul Als ik eens Nederlander was
(Seandainya saya orang Belanda). Dengan sindiran tajam, tulisan itu
menyatakan rasa malunya merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan
memungut uang dari rakyat Hindia yang terjajah. Soewardi bahkan mengirim
telegram kepada Ratu Belanda berisi usulan untuk mencabut pasal 11 RR
(Regerings Reglement – UU Pemerintahan Negeri Jajahan) yang melarang
organisasi politik di Hindia-Belanda. Karuan saja, akibat tulisan itu Ki
Hajar dibuang ke Belanda pada Oktober 1914. Padahal dia baru saja
mempersunting R.A. Sutartinah. Jadi, terpaksa dia harus berbulan madu di
pengasingan.
Dalam
masa pembuangan itu tidak dia sia-siakan untuk mendalami masalah
pendidikan dan pengajaran, sehingga berhasil memperoleh Europesche Akte.
Setelah kembali ke tanah air di tahun 1918, ia mencurahkan perhatian di
bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih
kemerdekaan. Diwujudnyatakan bersama rekan-rekan seperjuangan dengan
mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922, sebuah perguruan yang bercorak nasional.
Perguruan
nasional Taman Siswa mencoba memadukan model pendidikan barat dengan
budaya-budaya negeri sendiri. Namun, kurikulum pemerintah Hindia Belanda
tidak diajarkan, karena garis perjuangan Ki Hajar bersifat
non-kooperasi terhadap pemerintah kolonial. Sifatnya mandiri.
Tak
hanya dalam bersikap, secara fisikpun Ki Hajar memiliki keberanian yang
mencengangkan. Ini terkuak dalam peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada
(sekarang Monas), 19 September 1945. Saat itu pemerintah R.I.
menghadapi tantangan, apakah presiden dan jajaran kabinetnya berani
menembus kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling lapangan.
Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan segenap anggota kabinet hadir di
Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat. Yang lain menolaknya denga n pertimbangan keselamatan.
Akhirnya,
semua sepakat untuk hadir. Tapi, siapa menteri yang harus membuka jalan
memasuki Lapangan Ikada, sebelum rombongan presiden. Karena ada
kemungkinan Jepang membantai rombongan menteri yang pertama masuk Ikada
untuk mencegah keberhasilan Pemerintah RI menyatakan eksistensinya
kepada rakyat dan dunia internasional. Pada saat kritis inilah sebagai
Menteri Pengajaran Ki Hajar unjuk keberanian. Bersama Menlu Mr. Achmad
Subarjo, Mensos Mr. Iwa Kusuma Sumantri, ia menyediakan tubuhnya menjadi
tameng. Padahal bapak enam anak itu bisa dibilang tak lagi muda. Ketika
diingatkan oleh Sesneg Abdul Gafur Pringgodigdo, “Ingat, Ki Hajar ‘kan
sudah tua.” “Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa,” jawab Ki
Hajar enteng.
Sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia
dan pendiri Tamansiswa, Ki Hajar memang tidak sendirian berjuang
menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui bidang pendidikan. Namun
telah diakui dunia bahwa kecerdasan, keteladanan dan kepemimpinannya
telah menghantarkan dia sebagai seorang yang berhasil meletakkan dasar
pendidikan nasional Indonesia. Ki Hajar bukan saja seorang
tokoh dan pahlawan pendidikan ini tanggal kelahirannya 2 Mei oleh bangsa
Indonesia dijadikan hari Pendidikan Nasional, selain itu melalui surat
keputusan Presiden RI no. 395 Tahun 1959, tanggal 28
November 1959 Ki Hajar ditetapkan sebagai pahlawan Pergerakan Nasional.
Penghargaan lainnya yang diterima oleh Ki Hajar Dewantara adalah gelar
Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada di tahun 1957.
Orang seringkali lupa, semboyan tutwuri handayani adalah bagian dari kesatuan yang lengkapnya berbunyi, ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Di depan memberi teladan, di tengah menghidupkan gairah, di belakang
memberi pengarahan. Mungkin, peristiwa di atas sekaligus bisa memberi
jawaban, apakah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin kalau anak
buahnya terancam bahaya.
Masalah
pendidikan memang rumit. Terlebih lagi jika anggaran dananya juga
sedikit. Program pendidikan yang dicita-citakan bangsa ini begitu besar,
namun kesadaran pendidikannya masih sering tercium aroma komersial.
Akibatnya, nilai-nilai pendidikan tergeser begitu jauh dari pusarannya.
Oke, it's enough. See you on my next posting :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar